Penyebab dan dampak krisis eropa
Latar Belakang
Banyak
kejadian-kejadian yang sedang terjadi pada saat ini namun belum di ketahui oleh
banyak orang sehingga pembuatan tulisan ini di buat agar para pembaca tulisan
ini dapat mengetahui informasi-informasi yang sedang terjadi pada saat-saat
ini.Agar para pembaca dapat memperluas wawasan dan mendapat informasi yang
sangat penting.Sehingga mereka tidak ketinggalan informasi.Semoga tulisan ini
dapat bermanfaat bagi pembacanya.
Krisis
yang ramai dibicarakan oleh kalangan akademisi ini dimulai di pertengahan tahun
2010, namun dalam tataran empirisnya hal itu hanyalah manifestasi klimaks dari
krisis tersebut, karena pada dasarnya krisis ini telah dimulai bertahun-tahun
sebelumnya. Krisis Finansial sendiri memang sering diidentikan dengan krisis
ekonomi, yang terpenting adalah memahami bahwa krisis finansial bukan hanya mengenai
tingkat ekspir-impor namun lebih jauh, perihal situasi yang semakin memburuk
diperbankan, bisnis skala besar, dan kebijakan moneter.
Krisis Yunani pun demikian, yaitu memiliki hutang yang begitu banyak
ke International Monetary
Fund (IMF), yang nyaris tidak terbayarkan, ditambah dengan defisit
yang tinggi serta kondisi ekonomi makro yang kacau. Keadaan ini kemungkinan
besar merupakan buah dari akumulasi kesalahan kebijakan pemerintahan di
masalalu. Pada tahun 1974, Yunani memasuki babak baru bentuk pemerintahan.
Pemerintah baru ini kemudian bernyali mengambil banyak hutang untuk membiayai
subsidi, dana pensiun, dan gaji pegawai. Angka hutang tersebut terus menumpuk,
bahkan jika ditarik lebih jauh, banyaknya hutang Yunani telah ada sejak tahun
1893. Dibawah kepemimpinan Trikoupis (1862-1893) Yunani melakukan banyak
pembangunan jalan kereta api, pelabuhan, dan mercusuar. Sejauh ini,
penulis menilai bahwa perekonomian Yunani sedari awal pasca transisi memang
belum matang.
Awal
tahun 2010, diketahui bahwa Pemerintah Yunani telah membayar Goldman Sachs dan
beberapa bank investasi lainnya untuk mengatur transaksi yang dapat
menyembunyikan angka hutang sesungguhnya.Pemerintah Yunani juga diketahui telah
mengutakatik data statistik ekonomi makro, sehingga kondisi perekonomian mereka
tampak baik-baik saja. Pada Mei 2010, Yunani sekali lagi tertangkap basah telah
mengalami defisit hingga 13.6%.Salah satu penyebab utama dari defisit tersebut
adalah banyaknya kasus penggelapan pajak, yang diperkirakan telah merugikan
negara hingga US$ 20 milyar per tahun. Semakin jelas kini, bahwa pada
dasarnya penyebab krisis Yunani begitu kompleks. Bahkan tidak sedikit para
analis yang konsen terhadap isu ini menyatakan bahwa konsep welfare state yang dipopulerkan
negara Eropa ini turut ambil bagian dalam munculnya krisis yang meluas,
Terlebih dalam rangka menjelaskan mengapa akhirnya satu krisis di negara Eropa
menjadi krisis satu Uni Eropa yang akan dijelaskan kemudian.
Krisis
Eropa atau juga dapat dikatakan sebagai krisis euro akhirnya terangkat
dipermukaan sebagai isu yang panas, setelah stimulus krisis Yunani berhasil
menarik banyak perhatian dunia internasional. Bagaimana tidak, jika ternyata
rentetan negara tak mau ketinggalan mencuat dengan kabar adanya krisis yang
terlihat dari bagaimana mereka mencari dana pinjaman baik dari negara lain dan
juga dari IMF, seperti Italia dan Spanyol, ditambah indikasi krisis yang
diperkirakan dialami oleh Portugis, dan Irlandia. Setelah Yunani, Italia
tergolong negara yang krisisnya begitu disorot dunia internasional, terlebih
dengan adanya ‘skandal’ kegagalan Berlusconi yang menyebabkan keterpurukan
ekonomi namun sempat teguh menolak untuk mengundurkan diri. Kegagalan
mengentaskan Yunani dari krisis akan menyeret negara Uni Eropa lain ke dalam
krisis yang makin dalam, yang ternyata tidak hanya disebabkan oleh persamaan
mata uang. Uni Eropa, yang konon kini menyisakan tiga negara kuat; yaitu
Belanda, Perancis, dan Jerman telah berupaya memberikan dana talangan, baik
teratasnamakan negara dan juga teratasnamakan komisi Uni Eropa. Menurut
penulis, hal ini menggambarkan kesadaran para negara anggota zona Euro, bahwa
perluasan krisis akan sangat mungkin berlanjut dan akan sangat merugikan.
Integrasi
ekonomi yang sukses ini menyisakan bentuk ketergantungan yang sangat signifikan
antar anggota, sehingga satu krisis sudah cukup untuk menggoyahkan kestabilan
negara-negara anggota yang lain. Penyebab lainnya, adalah karena sejauh ini
monitoring pengelolaan kelembagaan untuk bantuan bersyarat kurang jelas
dan ditambah lemahnya pengaturan pasar obligasi euro. Banyak sekali
mekanisme solutif berhasil dilakukan, namun gagal mencapai sasaran penyelesaian
dan justru menyisakan banyak ‘tugas rumah’ bagi Uni Eropa. Seperti yang
sempat diangkat tadi, konsepWelfare
State yang menjanjikan begitu melimpahnya jaminan sosial yang
mahal, akhirnya justru memanjakan banyak masyarakat Eropa dengan segala
kemudahan, sehingga ketika ada satu ide penghematan ditawarkan, masyarakat
menjadi reaktif untuk menolak terlihat dari banyak demo yang terjadi akibat
cetusan gagasan penghematan. Faktor mayor dan minor, semuanya berkolaborasi
menciptakan suatu krisis yang seakan mustahil diselesaikan dalam waktu yang
singkat.
Pada
dasarnya, sistem mata uang tunggal seakan menjadi pisau bermata dua, dalam
artian di satu sisi begitu menguntungkan dan menambahbargaining position negara Eropa, namun di saat yang
bersamaan penulis menilai ke-tunggal-an mata uang ini penuh dengan celah yang
berpotensi merugikan. Salah satunya perihal tingkat adaptasi negara, tidak
semua negara memiliki perekonomian yang cukup matang untuk zona euro. Misalnya
saja Yunani, sejak masuk Uni Eropa di tahun 1980, dan masuk pula di zona euro,
dalam satu dekade pertama harapan penguatan ekonomi samasekali tidak tercapai,
yang terjadi justru penurunan tingkat Gross National Product (GNP) Yunani dari 58% menjadi 52%.
Adanya
sistem mata uang tunggal membuat negara-negara lain di Uni Eropa menjadi rentan
akan satu goncangan di satu pilar euro yang ada. Dampak signifikan secara
langsung akan dirasakan oleh negara-negara anggota anggota eurozone. Harus dipahami disini bahwa
definisi zona eropa adalah kesepakatan beberapa negara, bahkan yang diluar Uni
Eropa yang sama-sama menggunakan mata uang euro, dan juga adapula negara Uni
Eropa yang ternyata tidak tergabung dalam zona euro, seperti United Kingdom dan
Denmark. Penggunaan term ‘negara dalam zona euro’ kini dapat disepakati
mengarah pada negara-negara pengguna euro. Adanya eurozone yang awalnya sangat menguntungkan kini menjadi
momok paling mengerikan sebab hal ini justru membuat upaya mempertahankan
krisis di wilayah internal negara menjadi upaya yang sia-sia bahkan nyaris
mustahil.
Dampak
pertama krisis Eropa langsung dirasakan oleh negara zona euro.Bagi mereka
krisis ini memunculkan instabilitas sistem moneter negara, mengingat kebijakan
kawasan zona euro berdampak langsung
pada landscape domestik negara
anggota. Kedua, melemahnya angka pendapatan negara, kembali, dikarenakan
berkurangnya intensitas aktivitas ekonomi antar negara, dan dampak ini akan
lebih dirasakan oleh para negara zona euro yang merupakan anggota Uni Eropa.
Ketiga, adalah munculnya kewajiban penghematan besar, seperti pemotongan
berbagai macam tunjangan kesejahteraan dan bagi mereka yang dianggap masih kuat,
seperti Perancis, Jerman dan Belanda maka mereka banyak mendapat sorotan untuk
memberikan bantuan nyata bagi para negara yang menghadapi krisis dan tuntutan
untuk mempertahankan kekuatan euro dimata internasional.
Dalam
konteks dampak terhadap negara non eurozone memang
tidak dapat terlihat secara langsung, namun samasekali tidak dapat diartikan
bahwa itu tidak ada. Inggris misalnya, dengan cukup cermat melihat bahwa krisis
euro ini akan membuat warga negaranya dibanyak negara zona euro akan menghadapi
banyak kesulitan mengakses account perbankan. Dampak
bagi negara di kawasan Eropa terkait krisis ini adalah adanya tekanan terkhusus
di area perbankan.Swiss misalnya, yang bukan merupakan negara anggota Uni Eropa
dan juga bukan negara zona euro menyatakan bahwa krisis finansial Eropa ini
sangat mempengaruhi perekonomian negaranya, misalkan dalam penetapan suku bunga
dan tingkat pertumbuhan perekonomian. Dan hal ini berlaku pula di negara
seperi Swedia dan Denmark bahkan Norwegia.Selain tekanan perihal kebijakan
moneter finansial, negara-negara tersebut menghadapi ancaman serius dalam
pemasukan negara sebab angka perdagangan negara sesama wilayah Eropa sangatlah
tinggi.
Penjelasan
mengenai dampak krisis euro di negara non-eurozone mengantarkan kita pada satu gambaran umum bahwa
suatu krisis sangatlah sulit untuk hanya berada di wilayah lokal. Munculnya
satu krisis akan menjadi ancaman global. Hal ini diakibatkan adanya
interdependensi sertainterconnectedness yang
tinggi hasil dari globalisasi, yang menciptakan dunia sebagai ruang penuh titik
yang mana satu sama lainnya saling mempengaruhi. Kajian Keohane dan Nye
menemukan bahwa dunia saat ini memang begitu kompleks, dan salah satu
karakteristik utamanya adalah menurunnya kekuasaan militer dan berganti dengan isu
ekonomi (yang termanifestasi dalam perdagangan bebas).Hal inilah yang menjadi
dasar mengapa sebuah krisis ekonomi sangat rentan pada efek ‘multiplikasi’
(bentuk perluasan), sebab memang ekonomi telah menjadi faktor dominan diarea
saling ketergantungan dunia. Praktisnya dilihat dari angka pendapatan yang
diperoleh dari adanya investasi luar negeri, perusahaan multinasional,
ekspor-impor, akan sangat terpengaruh oleh suatu goncangan kestabilan
perekonomian negara lain, terlebih jika negara tersebut memang adalah partner
bisnis utama.
Agaknya,
banyak sekali kajian yang muncul untuk mencoba menelaah dan bahkan bersifat
prediktif meramalkan dampak krisis Eropa ini ke Indonesia. Beberapa diantaranya
masih teguh menyatakan bahwa Indonesia akan banyak terpengaruh, namun studi
yang lebih dalam akan mengantarkan pembahasan di sisi opini yang berbeda
bahwasanya krisis Eropa tidak akan banyak berpengaruh ke Indonesia. Krisis
ekonomi Eropa mempengaruhi Indonesia melalui transaksi perdagangan internasional
dan aliran modal, dan akhirnya membuat ekspor Indonesia melemah, bahkan jika
ditarik lebih jauh ekspor terhadap mitra ekonomi utama Eropa -seperti Amerika
dan Jepang- juga akan mengalami penurunan. Namun kabar baiknya adalah kenyataan
bahwa kontribusi ekspor kita terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang
kini berkisar pada angka Rp. 7.000 triliun, tidaklah besar.Ekspor netto
(selisih antara ekspor terhadap impor) Indonesia dalam dua tahun terakhir
sekitar USD 20 miliar, yang ekuivalen dnegan 3% PDB. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa kontribusi ekspor ini menempati persentase yang relatif
kecil, apalagi jika disejajarkan dengan besarnya pemasukan konsumsi rumah
tangga yaitu yang mencapai angka 60%.Sisanya disumbang oleh investasi (30%) dan
belanja pemerintah sebesar 7%.
Ditengah
carut-marutnya kondisi finansial Eropa, muncul berbagai macam kepanikan. Salah
satunya seperti apa yang dicatat oleh majalahRolling Stones-Indonesia yang mengatakan bahwa dampak krisis
Eropa membuat band besar seperti Metallica bahkan mengubah rute konsernya ke
Asia. Seperti yang dilaporkan oleh Kompas,
manajer Metallica, Cliff Burnstein, telah mempersingkat lawatan bandnya ke
Eropa guna menghindari masalah pembayaran yang dapat disebabkan oleh anjloknya
nilai mata uang euro. Contoh ini hanyalah sebuah pengantar untuk memulai
mencari tahu apa keuntungan yang bisa diperoleh Indonesia dari kondisi sulit
Eropa. Kita dapat menyepakatinya melalui term Blessing in Disguise. Ketidakstabilan pasar finansial dan
kondisi perekonomian Eropa langsung berimbas pada kepanikan dari para investor.
Tidak mengejutkan jika prediksi menyatakan bahwa sejak akhir 2011 aroma
ketidakpastian penyelesaian krisis zona euro akan membuat beberapa negara di
luar Eropa diuntungkan, dan salah satunya adalah Indonesia. Orientasi jangka
menengah ke depan memperlihatkan bahwa banyak potensi dimana investor akan
memandang Indonesia sebagai negara penting untuk menerima investasi portofolio,
sebagaimana China dan India. Kekhawatiran akan efek domino krisis Eropa ini,
justru mendorong korporasi asal Eropa melirik Indonesia berinvestasi, antara
lain sektor farmasi, perkapalan dan manufaktur umum.
Krisis
di kawasan Eropa adalah permasalahan serius sebab menyangkut perekonomian dari
sisi perbankan, bisnis skala besar, dan kebijakan moneter yang praktis langsung
berdampak pada aktivitas ekonomi semacam ekspor-impor dan
investasi.Keterpurukan Eropa mulai mencuat di 2010 dan memanas di 2012.Diawali
dari krisis Yunani yang didalamnya menyangkut adanya kesalahan masa lalu ditambah
beberapa kasus yang semakin mempersulit posisinya. Disusul oleh Italia dan
Spanyol yang juga meminta dana talangan dan pinjaman baik ke Uni Eropa dan IMF.
Ada indikasi faktor ketidakmatangan adaptasi beberapa negara yang tergabung
dalam eurozone yang menyebabkan krisis terjadi, ditambah dengan regulasi
moneter yang kurang tepat sasaran.Hal ini berdampak besar bagi negara anggota
zona euro dan bahkan bagi negara non anggota zona euro yang dipengaruhi faktor
intensnya perdagangan dan saling terkaitnya kebijakan perbankan.Jika dilihat
dari dampat diluar Eropa, krisis Euro menjadi ketakutan bagi banyak negara,
China misalnya sebagai partner besar Eropa. Efek global ini tidak lain
dikarenakan adanya tingkat saling berhubungan satu negara dengan negara yang lain.
Beruntungnya, hal ini membuat Indonesia menikmati keuntungan ‘terselubung’,
yaitu dengan banyaknya investasi portofolio yang masuk
Tulisan ini
menyimpulkan bahwa krisis eropa sangat berpengaruh bagi Negara-negara yang
berada di berbagai kawasan dunia.Tidak hanya di eropa saja bahkan kawasan
Asia,Australia,Amerika dan Afrika.Hal ini dapat terlihat dari perekonomian
Indonesia di mana pengeksporan Indonesia ke Negara bagian Eropa mengalami
kekurangan yang sangat signifikan di karenakan krisis tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
No comments:
Post a Comment